TUGAS
MAKALAH
GAYA
KEPEMIMPINAN DEMOKRASI
|
OLEH:
FERDIN
Q1A1 15 380
DOSEN PENGASAUH
Prof.Dr. Ir. La Rianda,M.Si
Dr. Ir. La Nalefo,M.S
Aswarlimi,SP.M.S
JURUSAN
ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI
DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU
OLEO
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah S.W.T atas ijinnnya sehingga Makalah dengan judul “Gaya Kepemimpinan
Demokrasi” dapat terselesaikan dengan
baik.
Makalah ini meliputi pendahuluan dan pembahasan, serta
kesimpulan. Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu, kami sangat terbuka apabila ada kritik dan saran
sebagai masukan yang membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan Makalah ini .
Kendari, Oktober 2015
FERDIN
Q1A1 15 380
1.1.
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup
sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesame serta dengan
lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam
kelompok kecil.
Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk
menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling
menghormati dan menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang
teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan dan menjaga kehidupan yang
harmonis adalah tugas manusia.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi
disbanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir,
kemampuan untuk memilah dan memilih
mana yang baik & mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia
seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan
baik, kehidupan social manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah
dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa
pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri. Dengan
berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam
penanggulangan masalah yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut
kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan
dengan baik.
I.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang dapat diuraikan,
banyak pokok permasalahan yang di dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain :
Ø
Bagaimana hakikat menjadi seorang
pemimpin?
Ø
Menjelaskan teori – teori kepemimpinan
yang baik?
Ø
Apa dan bagaimana menjadi pemimpin yang dapat melayani masyarakat?
Ø
Apa dan bagaimana menjadi pemimpin sejati?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulis makalah ini adalah
Ø
Agar dapat lebih memahami dan mendalami pokok-pokok pembahasan khususnya tentang gaya kepemimpinan demokrasi dan teori-teori
kepemimpinan.
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari–hari, baik
di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan
sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan. Ketiga kata
tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan lainnya.
2.1. Beberapa Ahli Berpandapat tentang Pemimpin :
ü
Menurut Drs. H. Malayu S.P.
Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya
mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam
mencapai tujuan.
ü
Menurut Robert Tanembaum,
Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk
mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab,
supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.
ü
Menurut Prof. Maccoby,
Pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan
segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa
kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan
moral dari berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin
menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan.
ü
Menurut Lao Tzu, Pemimpin
yang baik adalah seorang yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga
akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu.
ü
Menurut Davis and Filley,
Pemimpin adalah seseorang yang menduduki suatu posisi manajemen atau seseorang
yang melakukan suatu pekerjaan memimpin.
ü
Sedangakn menurut Pancasila,
Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun, dan
membimbing asuhannya. Dengan kata lain, beberapa asas utama dari kepemimpinan
Pancasila adalah :
ü
Ing Ngarsa Sung Tuladha :
Pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya menjadikan dirinya pola
anutan dan ikutan bagi orang – orang yang dipimpinnya.
ü
Ing Madya Mangun Karsa : Pemimpin
harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang – orang
yang dibimbingnya.
ü
Tut Wuri Handayani : Pemimpin
harus mampu mendorong orang – orang yang diasuhnya berani berjalan di depan dan
sanggup bertanggung jawab.
Seorang pemimpin boleh
berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu tidak memadai apabila ia
tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri
para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai pemimpin, dapat penulis
simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki
sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.
Kepemimpinan adalah kemampuan
seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai
tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan
tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan pap yang
diinginkan pihak lainnya.”The art of influencing and directing meaninsuch
away to abatain their willing obedience, confidence, respect, and loyal
cooperation in order to accomplish the mission”. Kepemimpinan adalah seni
untuk mempengaruhidan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk
memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk
menyelesaikan tugas – Field Manual 22-100.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya.
Ketiga kata yaitu pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan yang dijelaskan
sebelumnya tersebut memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena
untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi
banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang
tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu
kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang
dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya
kepemimpinan yang akan diterapkan.
Fungsi pemimpin dalam suatu
organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu fungsi yang sangat penting
bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. Pada dasarnya fungsi
kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
·
Fungsi administrasi, yakni
mengadakan formulasi kebijaksanakan administrasi dan menyediakan fasilitasnya.
·
Fungsi sebagai Top Mnajemen,
yakni mengadakan planning, organizing, staffing, directing, commanding,
controling, dan sebagainya
B.
Definisi Kepemimpinan
3.1.
Defenisi Kepemimpinan
Pemimpin,
kepemimpinan, dan kekuasaan adalah tiga hal yang memiliki defenisi masing-masing, tapi
ketiganya berhubungan erat. Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang
kepemimpinannya bertujuan mengarahkan orang lain yang memiliki posisi di
bawahnya, baik tingkatan posisi yang disepakati dalam struktural ataupun proses
pengakuan pemimpin tanpa kesepakatan (proses alami). Kepemimpinan adalah
kemampuan seseorang (kelompok) untuk mempengaruhi orang (kelompok) lain sesuai
kehendak dan tujuan yang disepakati bersama, wujudnya bisa motivasi dan
menginspirasi. Kekuasaan adalah kemampuan
untuk mempengaruhi (memerintah lebih memaksa) orang lain dalam menjalankan hal yang
dikehendaki pihak lain (pemilik kekuasaan). Karenan yang kekuasaan
memiliki beberapa karakteristik, pertama kekuasaan
meruapakan sesuatu
yang abstrak, kedua kekuasaan milik interaksi sosial, ketiga pemegang kekuasaan yang egois cenderung
menyalahgunkan kekuasaan. Sedangkan arti sebutan ketua atau raja yang dapat ditemukan
dalam beberapa bahasa hanyalah untuk
menunjukan adanya pembedaan anatara pemimpin dan yang dipimpin.
3.2.
Konsep Dasar Teori Kepemimpinan
Manusia
sebagai makhluk sosial tidak ada bedanya dengan makhluk yang lain, semua saling terikat
dan membutuhkan, dari faktor saling ketergantungan tersebut menjadikan manusia
hidup secara kelompok, baik dalam suku, ras, agama, ataupun dalam
kelompok-kelompok lebih kecil. Tersebut, pasti memunculkan individu-individu
unggulan yang melebihi mayoritas lainnya dan cenderung berpengaruh terhadap
lingkungannya, sehingga berpotensi sebagai pemimpin sebuah kelompok. Peradaban
manusia yang sering berubah merupakan salah satu faktor alamiah munculnya
pemimpin-pemimpin dalam kelompok manusia, baik politik maupun keagamaan, tidak
hanya berlandaskan kekuatan seperti hukum rimba, melainkan seleksi seorang
pemimpin dalam kehidupan manusia terjadi karena banyak faktor, hasilnya teori
terjadinya kepemimpinan sangat beragam. Para ahli sejarah dan filsafat sejak
masa lalu telah menawarkan kurang lebih tiga ratus limapuluh definisi tentang
kepemimpinan, di antaranya Teori Trait sekitar tahun 1940: Pembedaan
antara pemimpin dengan pengikutnya, sebab pemimpin memiliki kualitas tinggi
daripada pengikutnya. Kualitas ini bisa berupa kecerdasan, kekuatan, dan ketangkasan
di atas mayoritas. Teori Charismatic sekitar tahun 1950: Penekanan
perilaku pemimpin dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya, dalam teori ini
didukung oleh dua pendekatan:
1.
Koneiderasi; kecenderungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab
dengan bawahannya, seperti kedekatan emosional dan sering memberikan masukan
terhadap bawahan, serta selalu terbuka berkonsultasi dengan bawahan.
2.
Struktur Inisiasi; pemimpin yang memberikan batasan terhadap
bawahannya,
dan cenderung memberikan instruksi terhadap bawahan dengan target, waktu, dan
cara pelaksanaanya. Sehingga dalam teori ini pemimpin baik adalah yang
memiliki loyalitas terhadap bawahan dan memiliki target terhadap suatu pekerjaan.
3.
Model Kepemimpinan Demokrasi banyak
tokoh yang mencetuskan tentang model-model kepemimpinan, baik kepemimpinan yang
bersifat politik ataupun administratif, di antaranya model kepemimpinan
demokrasi: kepemimpinan model ini mau mendengarkan dan menerima masukan dari
pengikut, karena penekanan mode demokrasi
ada pada
mutu yang dihasilkan sesuai kesepakatan bersama. Berikut ciri dari gaya kepemimpinan demokrasi:
a.
Memiliki pandangan, betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi,
kesemuanya itu pada dirinya tidak berarti
apa-apa kecuali digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi
kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi.
b.
Dalam kehidupan organisasi tidak mungkin, tidak perlu, bahkan tidak boleh semua kegiatan
dilakukan sendiri oleh pemimpin, oleh karena itu selalu mengusahakan
adanya pendelegasian wewenang yang praktis
dan realistis tanpa kehilangan kendali organisasi nasional.
c.
Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran sertanya dalam
proses pengambilan keputusan.
d. Kesungguhan yang nyata dalam
memperlakukan bawahan sebagai makhluk
politik, makhluk ekonomi dan makhluk sosial sebagai individu dengan
karakteristik dan jati diri yang khas mempunyai kebutuhan kompleks. Seperti
kebutuhan sandang, pangan, dan papan, namun yang lebih penting adalah pengakuan
setatus sebagai anggota sebuah
organisasi.
B. Dinamika Demokasi Di Indonesia
4.1.
Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia
Demokrasi
memang lahir pada masa peradaban Yunani,1 tapi penerimaan besar-besaran terhadap
demokrasi terhitung sejak berakhirnya perang dunia ke-II. Karena periodisasi ini
adalah tidak hanya sebagai pertarungan perebutan kedikdayaan dan pengakuan
internasional siapa yang superior di dunia, melainkan juga perang ideologi antara
Fasisme, Komunisme, dan Demokrasi, hasilnya demokrasi dan komunisme
adalah ideologi paling diminati atas bencana perang terbesar sepanjang sejarah.2
Perlahan pasca perang dunia ke-II negara-negara mulai berbenah dan
memperkenalkan demokrasi untuk negerinya, Jerman, Itali, dan Jepang yang dulunya
dikuasai oleh Barat mulai terbiasa dan berusaha menerapkan demokrasi
Liberal. Indonesia adalah satu-satunya negara sejak merdeka sampai sekarang mampu
mengadopsi demokrasi di kawasan Asia Tenggara, meskipun seiring pergantian dan
periodisasi kepemimpinan politik bangsa turut andil dalam merubah model-model
demokrasi di dalamnya, terhitung setelah terjadinya perdebatan antara demokrasi
Liberal atau demokrasi sesuai identitas bangsa pra kemerdekaan,
Indonesia mengalami empat fase model demokrasi:
1.
Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959.
Masa
awal kemerdekaan belum sepenuhnya ditentukan Indonesia akan menggunakan demokrasi model
apa sebagai sistem bernegara, apakah demokrasi Liberal seperti banyak dilakukan
di negara Barat, sebagaimana banyaknya sarjana-sarjana Indonesia belajar di
Belanda dengan doktrinnya
tentang demokrasi Liberal?,
atau akan menggunakan demokrasi-nya sendiri sesuai dengan kepribadian bangsa?.
Mulailah tersusun
agenda-agenda politik dan birokrasi pemerintahan
pada masa awal kemerdekaan untuk menyusun identitas demokrasi Indonesia. Gagasan tentang
demokrasi telah banyak disampaikan para tokoh nasional jauh sebelum kemerdekaan
Indonesia, Soekarno mengemukakan “Demokrasi Sosial”, itu pula diterapkan
sebagai landasan PNI (Partai Nasional Indonesia), yaitu demokrasi kontra
Liberal, tetapi juga demokrasi yang memberikan hak-hak ekonomi. Soekarno
mempertegas dengan panitia perancangan UUD dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945
mengatakan, “Apabila kita ingin mengadopsin demokrasi,
hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawarahan yang memberi hidup, yakni politik
ekonomi demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial”.
Hatta
memiliki peran besar setelah kemerdekaan dalam mendidik masyarakat Indonesia
mengenal tentang demokrasi Moderen. Hatta dalam gagasannya tentang fungsi
parlemen dalam berdemokrasi didasari atas dua hal, kemudian dua hal ini menjadi
perdebatan pemimpin-pemimpin bangsa sebelum kemerdekan pada dua dekade pertama
abad ini, pertama adalah hak berserikat dan berkumpul secara politik, kedua
adalah tentang perwakilan rakyat dalam parlemen. Hatta menyatakan tidak mudah
mengembangkan gagasan demokrasi atas dasar dua poin tersebut, tapi hal itu juga
bukan semacam angan-angan dan keniscayaan, karena semua bisa dilaksanakan
meskipun syaratnya sangat berat. Kewajiban rakyat pertamakalinya harus insyaf
sekaligus faham antara posisi hak dan kewajibannya. Seorang pemimpin tidaklah seperti
dewa dengan apapun kehendaknya seolah-olah itu sebagai sebuah kebenaran, posisi
pemimpin sama dengan rakyat, berdampingan. Kemudian pertanyaan muncul, apakah
ada dasar sistem
pemerintahan sesuai dengan kebudayaan kita? Hatta dengan jelas menyatakan ada,
kemudian Hatta menganalogikan dengan kehidupan di desa, itu setidaknya memenuhi syarat
demokrasi dengan menekankan tiga hal, yaitu; cita-cita rapat untuk mufakat, cita-cita protes masa
dan berwatak kritis untuk memonitor
setiap keputusan konstitusi, dan terakhir adalah dasar kolektifitas, 6 M. Wujudnya bisa bentuk
tolong-menolong dalam berbagai sektor, termasuk sosial dan ekonomi koperasi (cikal
bakal bahwa Hatta adalah pencetus sekaligus bapak koperasi di Indonesia).
Cita-cita demokrasi dalam bentuk miniatur masyarakat desa menurut Hatta bisa
diperjuangkan ke level dan sekala lebih besar, seperti konstitusi ditingkat
nasional. Oleh karena itu kenapa Soekarno dan Hatta sepakat mengatakan bahwa demokrasi
Indonesia tidak sama dengan demokrasi di Barat, mereka menyatakan bahwa
demokrasi Barat hanya pada sektor politik, tidak dijumpai demokrasi pada
sektor ekonomi dan sosial, karenanya mengakibatkan hak milik secara individu
dan pengakuan umum atas dasar kekuasaan politik meningkat di Barat. Selanjutnya Hatta
menandatangani maklumat No/ X pada 3 November 1945, dalam maklumat tersebut
Hatta menyatakan pemerintah mengharuskan pentingnya membentuk partai politik
sebagai ornament demokrasi, pemerintah berharap partai-partai peserta pemilu
telah tersusun sebelum pemilu badan perwakilan rakyat pada Januari 1946.9
Maklumat tersebut direspon sangat positif dan ditandai banyak lahirnya partai
politik sebagai peserta pemilu, akan tetapi rencana awal pemilu pada
tahun 1948 harus tertunda akibat banyak kendala, di antaranya agresi militer
Belanda II dan pembrontakan PKI di Madiun 1948.
Perkembangan terpenting dan peralihan sistem
politik pada periode ini adalah tahun 1950. Seketsa Pasang Surut Demokrasi di
Indonesia”, kesatuan baru, yaitu sistem Parlementer yang kemudian dipimpin
Perdana Menteri Natsir, penunjukkan Natsir sebagai Perdana Menteri hasil
kesepakatan koalisi kabinet saat itu – tercatat empat pergantian Perdana
Menteri dari Natsir, Sukiman, Wilopo, dan Ali Sastroamidjoyo – dari keempat
Perdana Menteri tersebut pada era Wilopo pemilu Indonesia untuk pertama kalinya
berhasil dilaksanakan dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953, yaitu tepat
pada 29 September 1955 (pemilihan parlemen) dan 15 Desember 1955 (anggota
konstituante) untuk pertama kalinya pemilu berhasil dilaksanakan,11 dengan
diikuti seratus tanda gambar peserta pemilu ditambah dua puluh satu partai
serta wakil tidak berkoalisi, sehingga terdapat dua puluh delapan partai
termasuk partai perseorangan. Gagasan tersebut menandakan demokrasi pada periode
awal kemerdekaan 1945-1959 kemudian dikenal dengan istilah demokrasi
Parlementer. Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Seperti disinggung di awal,
Soekarno menyatakan bahwa generasi kepemimpinan berikutnya disebut sebagai
demokrasi Terpimpin, apa maksud dari pernyataan ini? Dalam catatan sejarah
peralihan antara demokrasi Parlementer ke demokrasi Terpimpin dituliskan sejak
tahun 1959, namun istilah demokrasi 11 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran:
Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia.
Terpimpin
sudah dinyatakan oleh Presiden Soekarno sejak tahun 1957 ketika banyak tokoh mulai gelisah
tentang warna demokrasi Indonesia.14 Dalam pidatonya dengan judul
“Respublika Sekali Lagi Respublika” pada sidang pleno konstituante di Bandung 22
April 1959, Soekarno menyerang konstituante karena mempraktikkan cara-cara
demokrasi Liberal, sambil menawarkan solusi mengembalikan demokrai
Indonesia pada bentuk demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin menurut
Soekarno adalah bentuk relevan untuk Indonesia, dan bukan sebagai kamuflase
kediktatoran dan sentralisme seperti faham Komunis, dan berbeda pula
dengan demokrasi Liberal. Pondasinya sesuai pembukaan UUD 1945 “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan”, seperti rapat suku yang dipimpin ketua adat, jadi tidak sekedar
dalam bidang politik, melainkan dalam sosial, dan ekonomi. Demokrasi Terpimpin
mendapat tentangan banyak kalangan, seperti Deliar Noer mengatakan bahwa
demokrasi Terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai ayah dalam
keluarga besar bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya.16
Karena menganggap dirinya sebagai ayah
dalam konteks bernegara, sehingga Soekarno memiliki kebijakan sendiri sebagai orang yang tidak
akan berpihak pada siapapun. Sikap demikian “Perkembangan Demokrasi Kita”.Mubarak,
”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”. Dengan demikian kekeliruan sangat besar dalam
demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai
penting dalam demokrasi, yaitu absolutisme dan perpusatnya kekuasaan hanya pada
diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance
dari legislatif terhadap eksekutif Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat
Madani, diterapkannya dalam berpolitik tanpa
partai, dengan tujuan independensi tanpa adanya unsur-unsur mendiktenya.
Perinsip ini kemudian membuat Soekarn banyak ditentang oleh banyak lawan-lawan
politiknya, entah lupa atau tidak sadar, jelasnya dengan menerapkan politik
tanpa partai mengakibatkan dirinya masuk dalam lingkaran pencidera demokrasi.
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kesepakatan dari konstituante ditegaskan
oleh Hatta bahwa anjuran untuk bergabung dengan partai politik bagi penghuni
konstitusi negara (3 November 1946). Kritikan Hatta mendapat dukungan dari M.
Natsir dan Ki Hadjar. Dewantara – pemimpin Taman Siswa – secara pedas
menyatakan demokrasi. Terpimpin tidak ada bedanya dengan “liederschap”
(kepemimpinan). Hatta pada tahun 1961 menulis dalam bentuk brosur dengan judul,
“Demokrasi Kita” isinya menentang ketetapan Presiden Soekarno tentang
demokrasi Terpimpin, di dalamnya sangat banyak bertentangan dengan asas-asas
kesepakatan berdemokrasi. Di antara hal-hal yang dianggap janggal dalam periode
demokrasi terpimpin.
1.
Penyimpangan terhadap UUD 1945, di antaranya tentang ketetapan MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara) No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno
sebagai Presiden seumur hidup, padahal undang-undang sebelumnya sangat jelas,
jika periode Presiden menjabat adalah lima tahun.
2.
Tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Presiden telah membubarkan DPR hasil pemilu 1955,
padahal dalam UUD 1945 ditentukan bahwa
Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
3.
Presiden boleh ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan legislatif, sesuai peraturan
Presiden No. 14/1960. Presiden juga diperbolehkan
ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan yudikatif, sesuai UU No. 19/1964.
Selain itu terbatasnya peranan partai
politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur
sosial.
4. Pers
dan lembaga publik banyak dibredel, saluran-saluran aspirasi rakyat diawasi sangat luar
biasa ketat, sehingga teks dan naskah pidato harus disortir sebelum dibacakan di
depan umum.
3.
Demokrasi Pancasila 1965-1998. Orde Baru berhasil memperoleh simpati sangat
besar dari masyarakat Indonesia, keberhasilan figur perwira tentara Soeharto
menumpas habis ideologi Komunis di Indonesia sampai anak cucunya hingga ke akar-akarnya
dianggap prestasi luar biasa,20 termasuk di dalamnya Soeharto mampu menjinakkan
usaha kudeta oleh Partai Komunis Indonesia tahun 1965. Berbondong-bondongmasyarakat
menumpukan harapan besar atas koreksi total tidak hanya dalam segi politik,
tapi juga sosial terlebih kembalinya kondusif hidup beragama, berbangsa. Alasan
pembubarannya karena DPR menolak anggran belanja rancangan pemerintah eksekutif
saat itu. Semua lapisan masyarakat menyambut era baru demokrasi terkecuali
segelintir orang Komunis yang terancam kehidupannya karena agenda politik
Soeharto menghabisi ideologi Komunis di Indonesia. Gebrakan mulainya Orde Baru
terjadi dalam banyak sektor, paling menjadi sorotan adalah mengembalikan fungsi
UUD akibat penyelewengan masa Soekarno,
di antaranya ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur
hidup telah dibatalkan, dan jabatan pemimpin negara kembali menjadi jabatan
elektif setiap lima tahun. Selain itu kebijakan-kebijakan hasil ketentuan masa
Orde Lama kembali mengalami koreksi dengan ditetapkannya MPRS No.
XIX/1966 untuk peninjauan kembali produk legislatif demokrasi Terpimpin. Semangat
mengembalikan fungsi UUD pada tempatnya dan kembali menempatkan Pancasila
sebagai asas tertinggi dan tunggal bagi semua golongan dalam bernegara
menjadikan sistem pemerintahan pada periode ini adalah demokrasi Pancasila, sesuai
UUD 1945, dan Ketetapan-ketetapan MPRS.
Berikut
beberapa rumusan tentang Demokrasi Pancasila:
a.
Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali asas-asas
negara hukum dan kepastian hukum.
b.
Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi
semua warga negara.
c.
Demokrasi dalam bidang hukum pada hakekatnya bahwa pengakuan dan perlindungan
HAM (Hak Asasi Manusia), peradilan
yang bebas dan tidak memihak.
4.2.
Gaya Pemimpin Demokrasi Tokoh Politisi Muda
1. Yuddy Chrisnandi
Yuddy
Chrisnandi lahir di Bandung 29 Mei 1968, putra pertama dari
pasangan
Yees Chrisman Tisnaamidjaya (almarhum) dan Tintin Yuniartien. Masa kecil hingga remajanya
dilalui di kota Cirebon – Jawa Barat, pendidikan dasarnya di SDN Panitran III Cirebon
tahun 1980, pendidikan SLTP di SMPN I Cirebon tahun 1983, dan SLTA di SMA
1 Cirebon tahun 1986. Pendidikan jenjang S-1 di kota Bandung dan memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi dari Universitas Padjajaran tahun
1991, berlanjut S-2 meraih gelar Magister Ekonomi bidang Manajemen Keuangan dari Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1997, di Universitas yang sama Yuddy
Chrisnandi manamatkan pendidikan Doktor di Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia tahun 2004, dengan disertasi
“Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia”. Buah pernikahannya dengan
Velly Elvira dikaruniai anak bernama Ayesha Fatma Nandira.41 Yuddy aktif
sebagai pengajar tetap dengan pangkat akademik Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi
Universitas Nasional di Jakarta, ia juga aktif mengajar/memberikan ceramah
di berbagai kegiatan pelatihan kepemimpinan organisasi kemahasiswaan
atau pemuda, menjadi pembicara di berbagai forum seminar atau diskusi, serta
kegiatan akademis lainnya, baik dalam maupun luar yang dahulu menodai
demokrasi, rakyat juga sedikit demi sedikit dibuat amnesia tentang semangat.
Reformasi
untuk tegaknya keadilan bagi pelaku-pelaku KKN masa Soeharto. Tentang kaburnya cita-cita
Reformasi bisa dibaca pada Dede Mariana dan Karoline Puskara, Demokrasi dan
Politik Hidup Yuddy tidak hanya dihabiskan dalam bidang politik,
kesehariannya juga dipenuhi oleh agenda pendidikan sebagai dosen dan guru di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia, di antaranya; penasehat Ahli KAPOLRI
BidangPolitik dan Kepemudaan 1999-2001. Staf khusus Wakil Presiden RI Bidang Politik
dan Keamanan 2001-2002. Anggota DPR RI Komisi I periode 2004-2009. Dosen
Kehormatan/ Dewan Penyantun STIE Satya Darma Singaraja Bali. Dosen dan Dewan
Pendiri Program S-2 STIE Latifah Al Mubarokah, Suryalaya, Tasikmalaya. Dosen PPS Studi
Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia tahun 2005. Dosn FE Jurusan Manajemen,
Universitas Trisakti dari 1997-2001.43 Yuddy termasuk aktifis dalam berorganisasi,
baik dalam bidang pendidikan, sosial
ataupun politik, di antaranya adalah; Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (BAPPILU) DPP Partai HANURA
periode 2010-2015. Ketua Departemen Organisasi
Keanggotaan dan Kaderisasi DPP Partai GOLKAR periode 2004- 2009. Calon Ketua Umum
Partai GOLKAR pada tahun 2009. Pengurus DPP Partai GOLKAR. Departemen
Hukum dan Perundangan tahun 2001-2004. Pengurus DPP Partai GOLKAR. Departemen Pemuda
periode 1998-2001.
Sangat
banyak karya tulis Yuddy dalam politik, di antaranya; Penulis buku KPP HAM Bukan Pengadilan HAM
(Yayasan Kebangsaan Bersatu, 1999), buku Reformasi TNI: Perspektif
Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (LP3ES, 2005), buku Kesaksian
Para Jenderal ( LP3ES, 2007), buku Military Reform Post Suharto Era Orde Baru (RSIS-Singapore,
2008), buku Beyond Parlemen (Transwacana,
2008), buku Visi Misi Dr. H. Yuddy Chrisnandi, ME. Mengembalikan Kepercayaan
Rakyat angkitan
Kembali Partai GOLKAR. Untuk Mencapai Kemenangan
Partai GOLKAR 2014, buku Strategi Kebangsaan Satrio Piningit 2014 (Indohill,
2010), dan beberapa editor buku seperti buku Membangun Kemandirian
Indonesia (Forum Dialog Indonesia, 1995), dan buku Orang Berkata Tentang
Wiranto (Yayasan Kebangsaan Bersatu, 2001). Sedangkan penghargaan yang
pernah diraih oleh Yuddy dalam politik antara lain; Calon Presiden
Alternatif hasil seleksi Dewan Integritas Bangsa, Maret 2009. News Making Politicians of
The Years, Biografi Politik, 2009. Tokoh Muda Inspiratif pilihan KOMPAS,
Oktober 2009. Juru Bicara Calon Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014
(H. Jusuf Kalla dan H.Wiranto). Peserta Aktif pada Seminar Senior Inter-Agency
Advisory Panel & Process (SIAPP) on National and Transnational Threats,
Departemen Pertahanan RI, Mei 2006. Juru Kampanye Yuddy Chrisnandi, Beyond
Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Sukses Kepemimpinan Nasional (Jakarta:
Transwacana, 2007), terletak pada sampul belakang. Yuddy Chrisnandi, Beyond
Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional, pada
sampul belakang. Tingkat Nasional Partai GOLKAR, 2004. Juru Kampanye Tingkat
Nasional Partai GOLKAR, 1999.
D.
TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN
Memahami teori-teori kepemimpinan
sangat besar artinya untuk mengkaji sejauh mana kepemimpinan dalam suatu organisasi
telah dapat dilaksanakan secara efektif serta menunjang kepada produktifitas
organisasi secara keseluruhan. Dalam karya tulis ini akan dibahas tentang teori
dan gaya kepemimpinan.
Seorang pemimpin harus mengerti
tentang teori kepemimpinan agar nantinya mempunyai referensi dalam menjalankan
sebuah organisasi. Beberapa teori tentang kepemimpinan antara lain :
5.1.
Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory )
Analisis ilmiah tentang
kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori
sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa
pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan yang kemudian teori ini dikenal
dengan ”The Greatma Theory”. Dalam perkembanganya, teori ini mendapat pengaruh
dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat – sifat
kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui
pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain : sifat fisik, mental,
dan kepribadian.
5.2. Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori
ini memiliki kecendrungan kearah 2 hal:
o Pertama yang disebut dengan Konsiderasi yaitu kecendrungan seorang pemimpin
yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam
hal ini seperti : membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia
berkonsultasi dengan bawahan.
o Kedua disebut Struktur Inisiasi yaitu Kecendrungan seorang pemimpin yang
memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat , bawahan mendapat
instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan
hasil yang akan dicapai.
Jadi, berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana
seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan
terhadap hasil yang tinggi pula.
5.3.
Teori Kewibawaan Pemimpin
Kewibawaan merupakan faktor
penting dalam kehidupan kepemimpinan, sebab dengan faktor itu seorang pemimpin
akan dapat mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan maupun
kelompok sehingga orang tersebut bersedia untuk melakukan apa yang dikehendaki
oleh pemimpin.
5.4.
Teori Kepemimpinan Situasi
Seorang pemimpin harus merupakan
seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan
dan tingkat kedewasaan bawahan.
5.5.
Teori Kelompok
Agar tujuan kelompok (organisasi)
dapat tercapai, harus ada pertukaran yang positif antara pemimpin dengan
pengikutnya.
Dari adanya berbagai teori
kepemimpinan di atas, dapat diketahui bahwa teori kepemimpinan tertentu akan
sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan (Leadership Style), yakni pemimpin yang
menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan
sikapnya. Gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpan bersikap, berkomunikasi,
dan berinteraksi dengan orang lain dalam mempengaruhi orang untuk melakukan
sesuatu.Gaya tersebut bisa berbeda – beda atas dasar motivasi , kuasa ataupun
orientasi terhadap tugas atau orang tertentu. Diantara beberapa gaya
kepemimpinan, terdapat pemimpin yang positif dan negatif, dimana perbedaan itu
didasarkan pada cara dan upaya mereka memotivasi karyawan. Apabila pendekatan
dalam pemberian motivasi ditekankan pada imbalan atau reward (baik ekonomis
maupun nonekonomis) berartitelah digunakan gaya kepemimpinan yang positif.
Sebaliknya jika pendekatannya menekankan pada hukuman atau punishment, berarti
dia menerapkan gaya kepemimpinan negatif. Pendekatan kedua ini dapat
menghasilakan prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian
manusiawi.
Dilihat dari orientasi si
pemimpin, terdapat dua gaya kepemimpinan yang diterapkan, yaitu gaya konsideral
dan struktur, atau dikenal juga sebagai orientasi pegawai dan orientasi tugas.
Beberapa hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kepuasan
kerja pegawai dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya
kepemimpinan yang dominan. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi tugas
yang terstruktur, percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat
orang – orang sibuk dan mendesak mereka untuk berproduksi.
Pemimpin yang positif,
partisipatif dan berorientasi konsiderasi,tidak selamanya merupakan pemimpinyan
terbaik.fiedler telah mengembakan suatumodel pengecualian dari ketiga gaya
kepemimpinan diatas,yakni model kepemimpinankontigennis.model ini nyatakan
bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bergantung pada situasi dimana
pemimpin bekerja.dengan teorinya ini fiedler ingin menunjukkan bahwa
keefektifan ditunjukkan oleh interaksi antara orientasi pegawai dengan 3
variabel yang berkaitan dengan pengikut, tugas dan organisasi. Ketiga variabel
itu adalah hubungan antara pemimpin dengan anngota ( Leader – member
rolations), struktur tugas (task strukture), dan kuasa posisi pemimpin (Leader
position power). Variabel pertama ditentukan oleh pengakuan atau penerimaan
(akseptabilitas) pemimpin oleh pengikut, variabel kedua mencerminkan kadar
diperlukannya cara spesifik untuk melakukan pekerjaan, variabel ketiga
menggambarkan kuasa organisasi yang melekat pada posisi pemimpin.
Model kontingensi Fieldler ini
serupa dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Konsepsi
kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan
antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (muturity)
pengikutnya.perilaku pengikut atau bawahan ini amat penting untuk mengetahui
kepemimpinan situasional, karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa
menerima atau menolak pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok , pengikut
dapat menemukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin.
Menurut Hersey dan Blanchard
(dalam Ludlow dan Panton,1996 : 18 dst), masing – masing gaya kepemimpinan ini
hanya memadai dalm situasi yang tepat meskipun disadari bahwa setiap orang
memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya
meskipun perlu.
Banyak studi yang sudah dilakukan
untuk melihat gaya kepemimpinan seseorang. Salah satunya yang terkenal adalah
yang dikemukakan oleh Blanchard, yang mengemukakan 4 gaya dari sebuah
kepemimpinan. Gaya kepemimpinan ini dipengaruhi oleh bagaimana cara seorang
pemimpin memberikan perintah, dan sisi lain adalah cara mereka membantu
bawahannya.
Ditengah–tengah dinamika
organisasi (yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf / individu
yang berbeda – beda), maka untuk mencapai efektivitas organisasi, penerapan
keempat gaya kepemimpinan diatas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan.
Inilah yang dimaksud dengan situasional lesdership,sebagaimana telah disinggung
di atas. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya
kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus
yakni :
1. Kemampuan analitis (analytical skills) yakni kemampuan untuk menilai
tingkat pengalaman dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
2. Kemampuan untuk fleksibel (flexibility atau adaptability skills) yaitu
kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan
analisa terhadap situasi.
3. Kemampuan berkomunikasi (communication skills) yakni kemampuan untuk
menjelaskan kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita
terapkan.
Ketiga kemampuan di atas sangat
dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus dapat
melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah
informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision
making) (Gordon, 1996 : 314-315).
Jika saja Indonesia memiliki
pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin,
pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik,
cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita
tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat
pula yang dipimpin.
Rahasia utama kepemimpinan adalah
kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya,
tapi dari kekuatan pribadinya. Maka jika ingin menjadi pemimpin yang
baik jangan pikirkan orang lain, pikirkanlah diri sendiri dulu. Tidak akan bisa
mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri. Bangunan akan
bagus, kokoh, megah, karena ada pondasinya. Maka sibuk memikirkan membangun
umat, membangun masyarakat, merubah dunia akan menjadi omong kosong jika tidak
diawali dengan diri sendiri. Merubah orang lain tanpa merubah diri sendiri
adalah mimpi mengendalikan orang lain tanpa mengendalikan diri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kata pemimpin, serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena
untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi
banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang
tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu
kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat–sifatnya, atau kewenangannya yang
dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya
kepemimpinan yang akan diterapkan.
Pemimpin bukan sekedar gelar atau
jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang
dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership
from the inside out).
B. SARAN
Sangat diperlukan sekali jiwa
kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu
dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian,
M. Alfan. 2003. Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan. Jakarta:
Gramedia.
Aynul. 2009. Definisi Pemimpin. Bandung: Sinar Baru.
Manulang, M. 2004. Hakekat dan Teori Kepemimpinan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Manulang, M. 2004. Hakekat dan Teori Kepemimpinan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Panji Anoraga. 2010. Pengertian Kepemimpinan Menurut Para Ahli. Jakarta: Rineka Cipta.
Hani Handoyono, T. 1993. Gaya
Pemimpin Demokrasi Tokoh Politisi Muda. Jakarta: Yayasan Bina Karsa.
Soedarsono dan Edilius.
2004. Dinamika Demokasi Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar