TUGAS
KEWARGANEGARAAN
HAK ASASI MANUSIA DAN
PROBLEMATIKA
OLEH:
NAMA: FERDIN
STAMBUK: Q1A1 15 380
KELAS: TPG E
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2015
PROBLEM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
A. Pendahuluan
Dari
sejarah dunia kita mengetahui bahwa negara negara Eropa pernah menjajah
bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika, Australia, dan Amerika. Realitas
sejarah berupa penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain ini merupakan
salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam bentuknya yang klasik. Tidak hanya oleh
negara asing, pelanggaran HAM juga mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap
rakyatnya sendiri. Misalnya pada masa Orde Baru, kebebasan berkumpul,
berserikat, dan mengeluarkan pendapat sangat dibatasi. Begitu juga kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam berbagai bentuknya sering terjadi, seperti
penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan atas orang-orang yang dianggap dapat
mengancam dan menggoyahkan eksistensi kekuasaannya. Rezim Orde Baru yang
represif dan otoriter sudah terlalu banyak melakukan pelanggaran pelanggaran
HAM, sehingga menimbulkan gejolak gejolak sosial dan politik yang pada akhirnya
mengakibatkan kejatuhannya pada bulan Mei 1998 lalu.
Namun
demikian dalam era reformasi ini telah berhasil disusun instrumen instrumen
penegakan HAM. Diantaranya amandemen UUD ‘45 yang kemudian memasukkan HAM dalam
bab tersendiri dengan pasal pasal yang menyebutkan HAM secara lebih detail.
Selain amandemen UUD ‘45 juga ditetapkannya Ketetapan MPR RI No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada lembaga lembaga
tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Juga
menugaskan kepada Presieden RI dan DPR RI untuk meratifikasi berbagai instrumen
PBB tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, dan
diudangkannya Undang Undang RI No 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang Undang RI No 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia yang juga memperkuat posisi Komnas HAM yang dibentuk
sebelumnya berdasarkan Keppres. No 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, serta diundangkannya Undang Undang RI No 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
B.
Pembahasan
1. Hak Asasi Manusia
Pasal 1
ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian
HAM sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah hak yang tidak
terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan merupakan anugerah Tuhan
Yang Maha Esa yang harus dihormati dan dilindungi oleh siapapun juga.
Mengabaikannya berarti mengingkari anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus
berarti pula mengingkari eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia
merupakan makhluk yang paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya
akal budi yang menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut harus
dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat padanya. Hak hak
itu meliputi :
- 1. Hak untuk hidup
- 2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
- 3. Hak mengembangkan diri
- 4. Hak memperoleh keadilan
- 5. Hak atas kebebasan pribadi
- 6. Hak atas rasa aman
- 7. Hak atas kesejahteraan
- 8. Hak turut serta dalam pemerintahan
- 9. Hak wanita
- 10. Hak anak
Rincian
di atas apabila disimpulkan lebih lanjut dapat dipahami bahwa pada hakikatnya
HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan
dan hak kebebasan. Kedua hak dasar ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan
menjamin terpenuhinya pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin
kehidupan demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak persamaan
dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen. Penerapan HAM
sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999 hanya dapat dibatasi
berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan demi ketertiban
umum dan kepentingan bangsa bukan kepentingan penguasa. Untuk itu tidak ada
satu ketentuanpun dalam Undang Undang tentang HAM di atas boleh
diinterpretasikan bahwa pemerintah atau pihak manapun dibenarkan mengurangi,
merusak atau menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak dibenarkan
mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi pihak lain
dalam menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang Tentang HAM sehingga
mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM yang dijamin oleh Undang Undang
tersebut.
2. Kewajiban Dasar Manusia
Sangat
tidak proporsional apabila membahas HAM tanpa membahas pula Kewajiban Dasar
Manusia, sebab diantara keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hak itu
timbul dari pelaksanaan kewajiban. Dalam Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi
Manusia PBB tidak dicantumkan Kewajiban Dasar Manusia. Kewajiaban Dasar ini
lahir dari UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia BAB IV pasal
67-70.
Yang
dimaksud dengan Kewajiban Dasar Manusia adalah seperangkat kewajiban yang
apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM.
Kewajiban Dasar itu meliputi :
- 1.Wajib patuh pada peraturan perundang-undangan. Kewajiban ini berlaku bagi setiap orang yang berada dalam wilayah Republik Indonesia baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berada di Indonesia.
- 2.Ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
- 3.Menghormati HAM. Setiap orang wajib menghormati HAM, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Moral dan etika adalah suatu konsepsi tentang baik dan buruknya tingkah laku manusia didalam masyarakat. Sedangkan tertib kehidupan bermasyarakat diatur oleh hukum, moral/etika, adat, dan agama/kepercayaan.
- 4.Menghormati hak asasi orang lain. Setiap hak asasi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Untuk itu tugas pemerintah dalam hal ini adalah menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya.
- 5.Tunduk pada pembatasan yang ditetapkan Undang Undang. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
3. Instrumen Penegakan HAM di Indonesia
Pemikiran
HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat ini mendapat pengakuan dalam
bentuk hukum tertulis yang dituangkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi sebagai peraturan
perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Sekalipun UUD 45 memuat ketentuan
ketentuan tentang HAM yang mencakup bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan
budaya tetapi pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul permasalahan
dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan.
Ismail
Suny berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat
menampung rincian HAM itu:
- 1. Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan melakukan amandemen UUD 45.
- 2. Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
- 3. Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya.
Dari
tiga kemungkinan bentuk hukum di atas dalam realitasnya secara
keseluruhan telah dipraktekkan oleh pemerintah Indonesia dalam
menguraikan rincian HAM.
Berikut
ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk hukum di atas sebagai
instrumen penegakan HAM di Indonesia:
- a. Amandemen UUD 45.
Wacana
tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45 berkembang ketika kesadaran akan
pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim
Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45 tidak secara
eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar secara tegas menyatakan
bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM karena dirumuskan sebelum
adanya Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk
memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang tidak bisa
dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin memperkuat komitmen negara
Indonesia untuk menegakkan dan melindungi HAM di Indonesia, karena dengan
menjadi bagian integral UUD 45 HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara
konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini kemudian
direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui amandemen II
UUD 45.
- b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan
ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada tanggal 13 Nopember
1998. Pada masa awal reformasi tuntutan mengenai perlunya suatu aturan yang
memuat ketentuan tentang HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi
isu sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut bentuk hukum
yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah Ketetapan MPR, karena pada saat
itu masih terjadi tarik menarik antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD
45 dan kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua kolompok yang
saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang secara relatif lebih dapat
diterima oleh mereka yaitu dengan membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang
HAM, di samping secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding
dengan amandemen UUD 45.
- c. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang
Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana dari Ketetapan MPR No
XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia di atas, karena salah satu dasar
hukumnya adalah Ketetapan MPR tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan
terdapat dua pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang
HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai
HAM tersebar dalam berbagai Undang Undang . Oleh karenanya tidak perlu dibuat
Undang Undang khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang Undang tentang
HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang HAM yang sudah ada tidak berlaku
oprasional dan Undang Undang yang sudah ada tidak seluruhnya menampung materi
HAM. Selain itu, Undang Undang tentang HAM akan berfungsi sebagai Undang Undang
payung bagi peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada selama
ini.
Undang
Undang No.39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan ketentuan tentang HAM
juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang fungsi pokoknya
adalah melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi
tentang HAM.
- d. Undang Undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang
Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua dalam penegakan HAM dalam
level Undang Undang setelah UU. No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini merupakan pengganti dari Peraturan Pmerintah Pengganti Undang
Undang (Perpu) No 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang telah ditolak
oleh DPR sebelumnya.
- e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Pengaturan
tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum melalui Undang Undang ini
bertujuan:
- 1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 45.
- 2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.
- 3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
- 4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
4. Problem Penegakan HAM Di Indonesia
Otoritarianisme
rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan banyaknya kasus kasus pelanggaran
HAM baik yang terselubung maupun yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen
instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi
misalnya ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi
Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis Umum PBB pada
tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan lain lain. Instrumen instrumen di atas
ternyata tidak dapat berfungsi bagi penegakan HAM karena hukum secara umum pada
masa Orde Baru hanya diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk
mewujudkan kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada masa itu
tidak untuk ditegakkan. Padahal seorang filosof hukum aliran realisme bernama
Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itu bukan apa-apa (law is nothing).
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan.
Tanpa penegakan hukum bukan apa apa.
Sungguhpun
rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan Orde Reformasi, tetapi
pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status quo) masih sangat kuat,
sebab pengertian reformasi yang terjadi di Indonesia bukan mengganti orang
orang lama (kelompok status quo) secara total tetapi memunculkan
orang-orang baru (kelompok reformis) dan bergabung dengan orang orang lama
dalam menjalankan pemerintahan. Maka yang terjadi adalah pertarungan dan
pergumulan antara dua kelompok itu. Dan ternyata, setelah era reformasi
bergulir kurang lebih lima tahun, nampak bahwa kekuatan kelompok status quo masih
mendominasi sistem yang sedang berjalan termasuk dalam penegakan hukum.
Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang meliputi
tiga unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann,
yaitu struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal
culture).
- 1. Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam sistem hukum Indonesia adalah institusi institusi penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, serta hirarki peradilan dari yang terendah (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak hukum yang bekerja pada institusi institusi penegakan hukum tersebut. Problem yang terjadi berkenaan dengan struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial yang menjamin resistensi institusi institusi penegakan hukum terhadap intervensi pihak lain serta rendahnya kualitas moralitas dan integritas personal aparat penegak hukum sehingga hukum tidak dapat bekerja secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam penegakan HAM.
- 2. Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang ada dalam sistem itu atau produk produk yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan yang mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup (living law) dan bukan hanya aturan aturan yang ada dalam kitab undang undang (law books). Yang menjadi problem dari substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme dalam tatanan hukum di Indonesia yang memandang hukum sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang berdaulat dalam bentuk undang undang dan mengabaikan sama sekali hukum diluar yang tersebut serta memandang prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kebenaran.
- 3. Kultur hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang merupakan ekspressi dari tingkat kesadaran hukum masyarakat belum kondusif bagi bekerjanya sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan.
Keterpurukan
hukum di Indonesia yang meliputi tiga unsur sistem hukum di atas sangat
menghambat penegakan HAM di negara kita sehingga wajar apabila kasus kasus
pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil
diusut secara tuntas dan profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik
rasa keadilan masyarakat secara umum.
Selain
itu secara struktural, kemandirian institusi institusi penegakan hukum di
Indonesia masih juga menjadi problem yang cukup serius. Institusi institusi
penegakan hukum tersebut belum cukup resisten terhadap intervensi pihak lain
terutama eksekutif, padahal penegakan HAM memerlukan kemandirian yudisial dan
pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law).
Problem
penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menyangkut sistem hukum yang mengalami
degradasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, tapi juga melibatkan
sistem sistem lain yang turut berpengaruh secara signifikan misalnya
sistem politik, ekonomi dan sosial.
Sistem
politik transisional dari sistem politik otoriter ke demokratis ternyata tidak
bisa berjalan mulus. Pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah
banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM. Begitu juga ketika Orde
Reformasi berkuasa timbul gejolak dan pergumulan di antara kekuatan reformasi
sendiri, tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang pro-status
quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal ini juga banyak menimbulkan
berbagai bentuk pelanggaran HAM, terutama ketika militer diposisikan sebagai
alat dan pendukung kekuasaan yang sedang berlangsung.
Sistem
ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru terbukti belum mampu
menyejahterakan dan mengangkat martabat kehidupan bangsa Indonesia terutama
rakyat kecil yang secara kuantitatif paling banyak jumlahnya. Bahkan sejak
terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi
bangsa Indonesia semakin terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas
hingga bersifat multidimensional. Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi problem
penegakan HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan dapat menghormati
dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia belum mampu memenuhi kebutuhan
dasarnya yang minimum sekalipun?
Dalam
psikologi dikenal teori Abraham Maslow tentang The Basic Need Hierarchy
Theory yang mengatakan bahwa ada lima tingkatan kebutuhan dasar manusia
yaitu :
- a. Kebutuhan pokok fisiologis
- b. Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan dari bahaya luar
- c. Kebutuhan akan cinta, kemisraan dan kebutuhan seksual
- d. Kebutuhan akan martabat, penghargaan sosial dan harga diri serta kebutuhan diperlakukan secara adil
- e. Kebutuhan untuk aktualisasi diri dan mempunyai sesuatu (obsesi).
Dalam
konteks ini, Tjuk Wirawan berasumsi bahwa apabila sebagian besar rakyat
Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sampai dengan hirarki keempat
yang berarti sebagian besar rakyat sudah menginginkan pengakuan martabat dan
harga dirinya serta membutuhkan penghargaan sosial dan ingin diperlakukan
secara adil, maka pada taraf inilah penghormatan HAM dan penegakan serta
penghayatannya yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia akan dapat dicapai.
Sistem
sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai agama dan
budaya yang menghargai dan menghormati kedudukan manusia sebagai makhluk Allah
SWT yang termulia di bumi ini. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut kemudian
membentuk etika sosial yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam berprilaku dan
berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam hidup bermasyarakat
berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia terkenal dengan sifat sopan
santunnya, sikap hormatnya kepada orang lain serta rasa kekeluargaannya yang
sangat tinggi. Tapi yang menjadi permasalahan adalah mengapa ketika terjadi
krisis multidimensional karakter sosial yang positif tersebut menjadi berbalik
seratus delapan puluh derajat, sehingga yang terjadi adalah kebiadaban,
keangkuhan dan kekerasan yang kemudian menimbulkan ketidak-tertiban
dan ketidak-harmonisan sosial (social disorder and disharmony). Dan
kondisi sosial semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha usaha
penegakan HAM di Indonesia. Frans Magnis Suseno mencoba memberi jawaban dari
permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat Indonesia rusak
karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan baik, misalnya sistem
hukum, sistem politik dan sistem ekonomi. Seandainya sistem sistem ini bekerja
dengan baik maka sistem sosial itu akan menjadi baik pula, karena sistem sistem
tersebut antara satu sama lain saling mempengaruhi.
.
C. Kesimpulan
Dari
keseluruhan pembahasan artikel ini selanjutnya dapat ditarik beberapa poin
kesimpulan sebagai berikut:
HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan anugerahNya yang wajib dihormati
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang
demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Penegakan HAM
harus diimbangi dengan pelaksanaan Kewajiban Dasar Manusia karena diantara
keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Penegakan HAM hanya dapat
dibatasi oleh Undang Undang untuk menjaga ketertiban umum dan hak-hak asasi
orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Ahmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kleden,
Ignas. 2001. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Kompas.
Lopa,
Baharuddin. 2001. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama:
Sebuah Pemikiran. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Manan,
Bagir. 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Bandung: PT. Alumni.
Prinst,
Darwan. 2001. Sosialisasi, Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Purbopranoto.
Kuntjoro. 1979. Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Jakarta: Pradnya
Paramita.