Minggu, 01 November 2015

HAK ASASI MANUSIA DAN PROBLEMATIKA



TUGAS
KEWARGANEGARAAN
HAK ASASI MANUSIA DAN  PROBLEMATIKA





OLEH:
NAMA: FERDIN
STAMBUK: Q1A1 15 380
KELAS: TPG E





JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2015














PROBLEM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
A. Pendahuluan
Dari sejarah dunia kita mengetahui bahwa negara negara Eropa pernah menjajah bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika, Australia, dan Amerika. Realitas sejarah  berupa penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam bentuknya yang klasik. Tidak hanya oleh negara asing, pelanggaran HAM juga mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Misalnya pada masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sangat dibatasi. Begitu juga kejahatan terhadap kemanusiaan dalam berbagai bentuknya sering terjadi, seperti penangkapan, penyiksaan dan  pembunuhan atas orang-orang yang dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi kekuasaannya. Rezim Orde Baru yang represif dan otoriter sudah terlalu banyak melakukan pelanggaran pelanggaran HAM, sehingga menimbulkan gejolak gejolak sosial dan politik yang pada akhirnya mengakibatkan kejatuhannya pada bulan Mei 1998 lalu.
Namun demikian dalam era reformasi ini telah berhasil disusun instrumen instrumen penegakan HAM. Diantaranya amandemen UUD ‘45 yang kemudian memasukkan HAM dalam bab tersendiri dengan pasal pasal yang menyebutkan HAM secara lebih detail. Selain amandemen UUD ‘45 juga ditetapkannya Ketetapan MPR  RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada lembaga lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai  HAM kepada seluruh masyarakat. Juga menugaskan kepada Presieden RI dan DPR RI untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, dan diudangkannya Undang Undang RI No 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang Undang RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang juga memperkuat posisi Komnas HAM yang dibentuk sebelumnya berdasarkan Keppres. No 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta diundangkannya Undang Undang RI No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.














B. Pembahasan
1. Hak Asasi Manusia
Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah hak yang tidak terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya berarti mengingkari anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula mengingkari eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan makhluk  yang paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya akal budi yang menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat padanya. Hak hak itu meliputi :
  • 1. Hak untuk hidup
  • 2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
  • 3. Hak mengembangkan diri
  • 4. Hak memperoleh keadilan
  • 5. Hak atas kebebasan pribadi
  • 6. Hak atas rasa aman
  • 7. Hak atas kesejahteraan
  • 8. Hak turut serta dalam pemerintahan
  • 9. Hak wanita
  • 10. Hak anak
Rincian di atas apabila disimpulkan lebih lanjut dapat dipahami bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak dasar ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin terpenuhinya pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin kehidupan demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak persamaan dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen. Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999 hanya dapat dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan kepentingan penguasa. Untuk itu tidak ada satu ketentuanpun dalam Undang Undang tentang HAM di atas boleh diinterpretasikan bahwa pemerintah atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi pihak lain dalam menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang Tentang HAM sehingga mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM yang dijamin oleh Undang Undang tersebut.

2. Kewajiban Dasar Manusia
Sangat tidak proporsional apabila membahas HAM tanpa membahas pula Kewajiban Dasar Manusia, sebab diantara keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hak itu timbul dari pelaksanaan kewajiban. Dalam Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia PBB tidak dicantumkan Kewajiban Dasar Manusia. Kewajiaban Dasar ini lahir dari UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia  BAB IV pasal 67-70.
Yang dimaksud dengan Kewajiban Dasar Manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM. Kewajiban Dasar itu meliputi :
  • 1.Wajib patuh pada peraturan perundang-undangan. Kewajiban ini berlaku bagi setiap orang yang berada dalam wilayah Republik Indonesia baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berada di Indonesia.
  • 2.Ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
  • 3.Menghormati HAM. Setiap orang wajib menghormati HAM, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Moral dan etika adalah suatu konsepsi tentang baik dan buruknya tingkah laku manusia didalam masyarakat. Sedangkan tertib kehidupan bermasyarakat diatur oleh hukum, moral/etika, adat, dan agama/kepercayaan.
  • 4.Menghormati hak asasi orang lain. Setiap hak asasi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Untuk itu tugas pemerintah dalam hal ini adalah menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya.
  • 5.Tunduk pada pembatasan yang ditetapkan Undang Undang. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

3. Instrumen Penegakan HAM di Indonesia
Pemikiran  HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Sekalipun UUD 45 memuat ketentuan ketentuan tentang HAM yang mencakup bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tetapi pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul permasalahan dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan.
Ismail Suny berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu:
  • 1. Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan melakukan amandemen UUD 45.
  • 2. Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
  • 3. Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya.
Dari tiga kemungkinan bentuk hukum di atas dalam realitasnya  secara keseluruhan  telah dipraktekkan oleh pemerintah  Indonesia dalam menguraikan rincian HAM.
Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di Indonesia:
  • a. Amandemen UUD 45.
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45 berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45 tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin memperkuat komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral UUD 45 HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini kemudian direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui amandemen  II UUD 45.
  • b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi isu sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah Ketetapan MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik menarik antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua kolompok yang saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu dengan membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan amandemen UUD 45.   
  • c. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia di atas, karena salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai  HAM tersebar dalam berbagai Undang Undang . Oleh karenanya tidak perlu dibuat Undang Undang khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang Undang tentang HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang HAM yang sudah ada tidak berlaku oprasional dan Undang Undang yang sudah ada tidak seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, Undang Undang tentang HAM akan berfungsi sebagai Undang Undang payung bagi peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada selama ini.
Undang Undang No.39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan ketentuan tentang HAM  juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang fungsi pokoknya adalah melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM.
  • d. Undang Undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua dalam penegakan HAM dalam level Undang Undang setelah UU. No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini merupakan pengganti dari Peraturan Pmerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang telah ditolak oleh DPR sebelumnya.
  • e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum melalui Undang Undang ini bertujuan:
  • 1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 45.
  • 2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.
  • 3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
  • 4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
 4. Problem Penegakan HAM Di Indonesia
Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan banyaknya kasus kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi misalnya ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan lain lain. Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi bagi penegakan HAM karena hukum secara umum pada masa Orde Baru hanya diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada masa itu tidak untuk ditegakkan. Padahal seorang filosof hukum aliran realisme bernama Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itu bukan apa-apa (law is nothing). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan hukum bukan apa apa.
Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan Orde Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status quo) masih sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di Indonesia bukan mengganti orang orang lama (kelompok status quo) secara total tetapi memunculkan orang-orang baru (kelompok reformis) dan bergabung dengan orang orang lama dalam menjalankan pemerintahan. Maka yang terjadi adalah pertarungan dan pergumulan antara dua kelompok itu. Dan ternyata, setelah era reformasi bergulir kurang lebih lima tahun, nampak bahwa kekuatan kelompok status quo masih mendominasi sistem yang sedang berjalan termasuk dalam penegakan hukum. Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal culture).
  • 1. Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam sistem hukum Indonesia adalah institusi institusi penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, serta hirarki peradilan dari yang terendah (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak hukum yang bekerja pada institusi institusi penegakan hukum tersebut. Problem yang terjadi berkenaan dengan struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial yang menjamin resistensi institusi institusi penegakan hukum terhadap intervensi pihak lain serta rendahnya kualitas moralitas dan integritas personal aparat penegak hukum sehingga hukum tidak dapat bekerja secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam penegakan HAM.
  • 2. Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang ada dalam sistem itu atau produk produk yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan yang mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup (living law) dan bukan hanya aturan aturan yang ada dalam kitab undang undang (law books). Yang menjadi problem dari substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme dalam tatanan hukum di Indonesia yang memandang hukum sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang berdaulat dalam bentuk undang undang dan mengabaikan sama sekali hukum diluar yang tersebut serta memandang prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kebenaran.
  • 3. Kultur hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang merupakan ekspressi dari tingkat kesadaran hukum masyarakat belum kondusif bagi bekerjanya sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan.
Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga unsur sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM di negara kita sehingga wajar apabila kasus kasus pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat secara umum.
Selain itu secara struktural, kemandirian institusi institusi penegakan hukum di Indonesia masih juga menjadi problem yang cukup serius. Institusi institusi penegakan hukum tersebut belum cukup resisten terhadap intervensi pihak lain terutama eksekutif, padahal penegakan HAM memerlukan kemandirian yudisial dan pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law).
Problem penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menyangkut sistem hukum yang mengalami degradasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, tapi juga melibatkan  sistem sistem lain yang turut  berpengaruh secara signifikan misalnya sistem politik, ekonomi dan sosial.
Sistem politik transisional dari sistem politik otoriter ke demokratis ternyata tidak bisa berjalan mulus. Pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM. Begitu juga ketika Orde Reformasi berkuasa timbul gejolak dan pergumulan di antara kekuatan reformasi sendiri, tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang pro-status quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal ini juga banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM, terutama ketika militer diposisikan sebagai alat dan pendukung  kekuasaan  yang sedang berlangsung.   
Sistem ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru terbukti belum mampu menyejahterakan dan mengangkat martabat kehidupan bangsa Indonesia terutama rakyat kecil yang secara kuantitatif paling banyak jumlahnya. Bahkan sejak terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia semakin terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas hingga bersifat multidimensional. Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi problem penegakan HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan dapat menghormati dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum sekalipun?
Dalam psikologi dikenal teori Abraham Maslow tentang The Basic Need Hierarchy Theory yang mengatakan bahwa ada lima tingkatan kebutuhan dasar manusia yaitu :
  • a. Kebutuhan pokok fisiologis
  • b. Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan dari bahaya luar
  • c. Kebutuhan akan cinta, kemisraan dan kebutuhan seksual
  • d. Kebutuhan akan martabat, penghargaan sosial dan harga diri serta kebutuhan diperlakukan secara adil
  • e. Kebutuhan untuk aktualisasi diri dan mempunyai sesuatu (obsesi).
Dalam konteks ini, Tjuk Wirawan berasumsi bahwa apabila sebagian besar rakyat Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sampai dengan hirarki keempat yang berarti sebagian besar rakyat sudah menginginkan pengakuan martabat dan harga dirinya serta membutuhkan penghargaan sosial dan ingin diperlakukan secara adil, maka pada taraf inilah penghormatan HAM dan penegakan serta penghayatannya  yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia akan dapat dicapai.
Sistem sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya yang menghargai dan menghormati kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang termulia di bumi ini. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut kemudian membentuk etika sosial yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam berprilaku dan berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia terkenal dengan sifat sopan santunnya, sikap hormatnya kepada orang lain serta rasa kekeluargaannya yang sangat tinggi. Tapi yang menjadi permasalahan adalah mengapa ketika terjadi krisis multidimensional karakter sosial yang positif tersebut menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat, sehingga yang terjadi adalah kebiadaban, keangkuhan dan kekerasan yang kemudian menimbulkan   ketidak-tertiban dan ketidak-harmonisan sosial (social disorder and disharmony). Dan kondisi sosial semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha usaha penegakan HAM di Indonesia. Frans Magnis Suseno mencoba memberi jawaban dari permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat Indonesia rusak karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan baik, misalnya sistem hukum, sistem politik dan sistem ekonomi. Seandainya sistem sistem ini bekerja dengan baik maka sistem sosial itu akan menjadi baik pula, karena sistem sistem tersebut antara satu sama lain saling mempengaruhi.
.          



C. Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan artikel ini selanjutnya dapat ditarik beberapa poin kesimpulan sebagai berikut:
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan anugerahNya yang wajib dihormati dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Penegakan HAM harus diimbangi dengan pelaksanaan Kewajiban Dasar Manusia karena diantara keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Penegakan HAM hanya dapat dibatasi oleh Undang Undang untuk menjaga ketertiban umum dan hak-hak asasi orang lain.









DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kleden, Ignas. 2001. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Kompas.
Lopa, Baharuddin. 2001. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama: Sebuah Pemikiran. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Manan, Bagir. 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Bandung: PT. Alumni.
Prinst, Darwan. 2001. Sosialisasi, Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Purbopranoto. Kuntjoro. 1979. Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Jakarta: Pradnya Paramita.

Jumat, 30 Oktober 2015

MAKALAH GAYA KEPEMIMPINAN DEMOKRASI



TUGAS      
MAKALAH
GAYA KEPEMIMPINAN DEMOKRASI
 




OLEH:
FERDIN
Q1A1 15 380

DOSEN PENGASAUH
Prof.Dr. Ir. La Rianda,M.Si
Dr. Ir. La Nalefo,M.S
Aswarlimi,SP.M.S



JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas ijinnnya sehingga Makalah dengan judul “Gaya Kepemimpinan Demokrasi”  dapat terselesaikan dengan baik.

Makalah  ini meliputi pendahuluan dan pembahasan, serta kesimpulan. Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kami sangat terbuka apabila ada kritik dan saran sebagai masukan yang membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan Makalah ini .










Kendari,  Oktober 2015      


FERDIN        
Q1A1 15 380


1.1.         Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesame serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan dan menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi disbanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik & mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan social manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri. Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan  lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.
I.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang dapat diuraikan, banyak pokok permasalahan yang di dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain :
Ø  Bagaimana hakikat menjadi seorang pemimpin?
Ø  Menjelaskan  teori – teori kepemimpinan  yang baik?
Ø  Apa dan bagaimana menjadi pemimpin yang dapat melayani masyarakat?
Ø  Apa dan bagaimana menjadi pemimpin sejati?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulis makalah ini adalah
Ø  Agar dapat lebih memahami dan mendalami pokok-pokok pembahasan khususnya tentang gaya kepemimpinan demokrasi dan teori-teori kepemimpinan.
.





BAB II
PEMBAHASAN
A.   Hakikat Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari–hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan lainnya.
2.1. Beberapa Ahli Berpandapat tentang Pemimpin :
ü  Menurut Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan.
ü  Menurut Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.
ü  Menurut Prof. Maccoby, Pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan.
ü  Menurut Lao Tzu, Pemimpin yang baik adalah seorang yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu.
ü  Menurut Davis and Filley, Pemimpin adalah seseorang yang menduduki suatu posisi manajemen atau seseorang yang melakukan suatu pekerjaan memimpin.
ü  Sedangakn menurut Pancasila, Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun, dan membimbing asuhannya. Dengan kata lain, beberapa asas utama dari kepemimpinan Pancasila adalah :
ü  Ing Ngarsa Sung Tuladha : Pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan bagi orang – orang yang dipimpinnya.
ü  Ing Madya Mangun Karsa : Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang – orang yang dibimbingnya.
ü  Tut Wuri Handayani : Pemimpin harus mampu mendorong orang – orang yang diasuhnya berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu tidak memadai apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai pemimpin, dapat penulis simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan pap yang diinginkan pihak lainnya.”The art of influencing and directing meaninsuch away to abatain their willing obedience, confidence, respect, and loyal cooperation in order to accomplish the mission”. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhidan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan tugas – Field Manual 22-100.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Ketiga kata yaitu pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
·         Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi kebijaksanakan administrasi dan menyediakan fasilitasnya.
·         Fungsi sebagai Top Mnajemen, yakni mengadakan planning, organizing, staffing, directing, commanding, controling, dan sebagainya

B. Definisi Kepemimpinan

3.1. Defenisi Kepemimpinan
Pemimpin, kepemimpinan, dan kekuasaan adalah tiga hal yang memiliki defenisi masing-masing, tapi ketiganya berhubungan erat. Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya bertujuan mengarahkan orang lain yang memiliki posisi di bawahnya, baik tingkatan posisi yang disepakati dalam struktural ataupun proses pengakuan pemimpin tanpa kesepakatan (proses alami). Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (kelompok) untuk mempengaruhi orang (kelompok) lain sesuai kehendak dan tujuan yang disepakati bersama, wujudnya bisa motivasi dan menginspirasi. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi (memerintah lebih memaksa) orang lain dalam menjalankan hal yang dikehendaki pihak lain (pemilik kekuasaan).  Karenan yang kekuasaan memiliki beberapa karakteristik,   pertama kekuasaan meruapakan sesuatu yang abstrak, kedua kekuasaan milik interaksi sosial, ketiga pemegang kekuasaan yang egois cenderung menyalahgunkan kekuasaan. Sedangkan arti sebutan ketua atau raja yang dapat ditemukan dalam beberapa bahasa hanyalah untuk menunjukan adanya pembedaan anatara pemimpin dan yang dipimpin.

3.2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan
Manusia sebagai makhluk sosial tidak ada bedanya dengan makhluk yang lain, semua saling terikat dan membutuhkan, dari faktor saling ketergantungan tersebut menjadikan manusia hidup secara kelompok, baik dalam suku, ras, agama, ataupun dalam kelompok-kelompok lebih kecil. Tersebut, pasti memunculkan individu-individu unggulan yang melebihi mayoritas lainnya dan cenderung berpengaruh terhadap lingkungannya, sehingga berpotensi sebagai pemimpin sebuah kelompok. Peradaban manusia yang sering berubah merupakan salah satu faktor alamiah munculnya pemimpin-pemimpin dalam kelompok manusia, baik politik maupun keagamaan, tidak hanya berlandaskan kekuatan seperti hukum rimba, melainkan seleksi seorang pemimpin dalam kehidupan manusia terjadi karena banyak faktor, hasilnya teori terjadinya kepemimpinan sangat beragam. Para ahli sejarah dan filsafat sejak masa lalu telah menawarkan kurang lebih tiga ratus limapuluh definisi tentang kepemimpinan, di antaranya Teori Trait sekitar tahun 1940: Pembedaan antara pemimpin dengan pengikutnya, sebab pemimpin memiliki kualitas tinggi daripada pengikutnya. Kualitas ini bisa berupa kecerdasan, kekuatan, dan ketangkasan di atas mayoritas. Teori Charismatic sekitar tahun 1950: Penekanan perilaku pemimpin dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya, dalam teori ini didukung oleh dua pendekatan:

1. Koneiderasi; kecenderungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahannya, seperti kedekatan emosional dan sering memberikan masukan terhadap bawahan, serta selalu terbuka berkonsultasi dengan bawahan.

2. Struktur Inisiasi; pemimpin yang memberikan batasan terhadap
bawahannya, dan cenderung memberikan instruksi terhadap bawahan dengan target, waktu, dan cara pelaksanaanya. Sehingga dalam teori ini pemimpin baik adalah yang memiliki loyalitas terhadap bawahan dan memiliki target terhadap suatu pekerjaan.

3. Model Kepemimpinan Demokrasi banyak tokoh yang mencetuskan tentang model-model kepemimpinan, baik kepemimpinan yang bersifat politik ataupun administratif, di antaranya model kepemimpinan demokrasi: kepemimpinan model ini mau mendengarkan dan menerima masukan dari pengikut, karena penekanan mode demokrasi ada pada mutu yang dihasilkan sesuai kesepakatan bersama. Berikut ciri dari gaya kepemimpinan demokrasi:

a. Memiliki pandangan, betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi.

b. Dalam kehidupan organisasi tidak mungkin, tidak perlu, bahkan tidak boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pemimpin, oleh karena itu selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang praktis dan realistis tanpa kehilangan kendali organisasi nasional.

c. Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan.

d. Kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan bawahan sebagai makhluk politik, makhluk ekonomi dan makhluk sosial sebagai individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas mempunyai kebutuhan kompleks. Seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan, namun yang lebih penting adalah pengakuan setatus sebagai anggota sebuah organisasi.

B.   Dinamika Demokasi Di Indonesia

4.1.        Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia

Demokrasi memang lahir pada masa peradaban Yunani,1 tapi penerimaan besar-besaran terhadap demokrasi terhitung sejak berakhirnya perang dunia ke-II. Karena periodisasi ini adalah tidak hanya sebagai pertarungan perebutan kedikdayaan dan pengakuan internasional siapa yang superior di dunia, melainkan juga perang ideologi antara Fasisme, Komunisme, dan Demokrasi, hasilnya demokrasi dan komunisme adalah ideologi paling diminati atas bencana perang terbesar sepanjang sejarah.2 Perlahan pasca perang dunia ke-II negara-negara mulai berbenah dan memperkenalkan demokrasi untuk negerinya, Jerman, Itali, dan Jepang yang dulunya dikuasai oleh Barat mulai terbiasa dan berusaha menerapkan demokrasi Liberal. Indonesia adalah satu-satunya negara sejak merdeka sampai sekarang mampu mengadopsi demokrasi di kawasan Asia Tenggara, meskipun seiring pergantian dan periodisasi kepemimpinan politik bangsa turut andil dalam merubah model-model demokrasi di dalamnya, terhitung setelah terjadinya perdebatan antara demokrasi Liberal atau demokrasi sesuai identitas bangsa pra kemerdekaan, Indonesia mengalami empat fase model demokrasi:

1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959.
Masa awal kemerdekaan belum sepenuhnya ditentukan Indonesia akan menggunakan demokrasi model apa sebagai sistem bernegara, apakah demokrasi Liberal seperti banyak dilakukan di negara Barat, sebagaimana banyaknya sarjana-sarjana Indonesia belajar di Belanda dengan doktrinnya tentang demokrasi Liberal?, atau akan menggunakan demokrasi-nya sendiri sesuai dengan kepribadian bangsa?. Mulailah tersusun agenda-agenda politik dan birokrasi pemerintahan pada masa awal kemerdekaan untuk menyusun identitas demokrasi Indonesia. Gagasan tentang demokrasi telah banyak disampaikan para tokoh nasional jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Soekarno mengemukakan “Demokrasi Sosial”, itu pula diterapkan sebagai landasan PNI (Partai Nasional Indonesia), yaitu demokrasi kontra Liberal, tetapi juga demokrasi yang memberikan hak-hak ekonomi. Soekarno mempertegas dengan panitia perancangan UUD dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 mengatakan, “Apabila kita ingin mengadopsin demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawarahan yang memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial”.

Hatta memiliki peran besar setelah kemerdekaan dalam mendidik masyarakat Indonesia mengenal tentang demokrasi Moderen. Hatta dalam gagasannya tentang fungsi parlemen dalam berdemokrasi didasari atas dua hal, kemudian dua hal ini menjadi perdebatan pemimpin-pemimpin bangsa sebelum kemerdekan pada dua dekade pertama abad ini, pertama adalah hak berserikat dan berkumpul secara politik, kedua adalah tentang perwakilan rakyat dalam parlemen. Hatta menyatakan tidak mudah mengembangkan gagasan demokrasi atas dasar dua poin tersebut, tapi hal itu juga bukan semacam angan-angan dan keniscayaan, karena semua bisa dilaksanakan meskipun syaratnya sangat berat. Kewajiban rakyat pertamakalinya harus insyaf sekaligus faham antara posisi hak dan kewajibannya. Seorang pemimpin tidaklah seperti dewa dengan apapun kehendaknya seolah-olah itu sebagai sebuah kebenaran, posisi pemimpin sama dengan rakyat, berdampingan. Kemudian pertanyaan muncul, apakah ada dasar sistem pemerintahan sesuai dengan kebudayaan kita? Hatta dengan jelas menyatakan ada, kemudian Hatta menganalogikan dengan kehidupan di desa, itu setidaknya memenuhi syarat demokrasi dengan menekankan tiga hal, yaitu; cita-cita rapat untuk mufakat, cita-cita protes masa dan berwatak kritis untuk memonitor setiap keputusan konstitusi, dan terakhir adalah dasar kolektifitas, 6 M. Wujudnya bisa bentuk tolong-menolong dalam berbagai sektor, termasuk sosial dan ekonomi koperasi (cikal bakal bahwa Hatta adalah pencetus sekaligus bapak koperasi di Indonesia). Cita-cita demokrasi dalam bentuk miniatur masyarakat desa menurut Hatta bisa diperjuangkan ke level dan sekala lebih besar, seperti konstitusi ditingkat nasional. Oleh karena itu kenapa Soekarno dan Hatta sepakat mengatakan bahwa demokrasi Indonesia tidak sama dengan demokrasi di  Barat, mereka menyatakan bahwa demokrasi Barat hanya pada sektor politik, tidak dijumpai demokrasi pada sektor ekonomi dan sosial, karenanya mengakibatkan hak milik secara individu dan pengakuan umum atas dasar kekuasaan politik meningkat di Barat. Selanjutnya Hatta menandatangani maklumat No/ X pada 3 November 1945, dalam maklumat tersebut Hatta menyatakan pemerintah mengharuskan pentingnya membentuk partai politik sebagai ornament demokrasi, pemerintah berharap partai-partai peserta pemilu telah tersusun sebelum pemilu badan perwakilan rakyat pada Januari 1946.9 Maklumat tersebut direspon sangat positif dan ditandai banyak lahirnya partai politik sebagai peserta pemilu, akan tetapi rencana awal pemilu pada tahun 1948 harus tertunda akibat banyak kendala, di antaranya agresi militer Belanda II dan pembrontakan PKI di Madiun 1948.
 Perkembangan terpenting dan peralihan sistem politik pada periode ini adalah tahun 1950. Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, kesatuan baru, yaitu sistem Parlementer yang kemudian dipimpin Perdana Menteri Natsir, penunjukkan Natsir sebagai Perdana Menteri hasil kesepakatan koalisi kabinet saat itu – tercatat empat pergantian Perdana Menteri dari Natsir, Sukiman, Wilopo, dan Ali Sastroamidjoyo – dari keempat Perdana Menteri tersebut pada era Wilopo pemilu Indonesia untuk pertama kalinya berhasil dilaksanakan dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953, yaitu tepat pada 29 September 1955 (pemilihan parlemen) dan 15 Desember 1955 (anggota konstituante) untuk pertama kalinya pemilu berhasil dilaksanakan,11 dengan diikuti seratus tanda gambar peserta pemilu ditambah dua puluh satu partai serta wakil tidak berkoalisi, sehingga terdapat dua puluh delapan partai termasuk partai perseorangan. Gagasan tersebut menandakan demokrasi pada periode awal kemerdekaan 1945-1959 kemudian dikenal dengan istilah demokrasi Parlementer. Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Seperti disinggung di awal, Soekarno menyatakan bahwa generasi kepemimpinan berikutnya disebut sebagai demokrasi Terpimpin, apa maksud dari pernyataan ini? Dalam catatan sejarah peralihan antara demokrasi Parlementer ke demokrasi Terpimpin dituliskan sejak tahun 1959, namun istilah demokrasi 11 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia.

Terpimpin sudah dinyatakan oleh Presiden Soekarno sejak tahun 1957 ketika banyak tokoh mulai gelisah tentang warna demokrasi Indonesia.14 Dalam pidatonya dengan judul “Respublika Sekali Lagi Respublika” pada sidang pleno konstituante di Bandung 22 April 1959, Soekarno menyerang konstituante karena mempraktikkan cara-cara demokrasi Liberal, sambil menawarkan solusi mengembalikan demokrai Indonesia pada bentuk demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin menurut Soekarno adalah bentuk relevan untuk Indonesia, dan bukan sebagai kamuflase kediktatoran dan sentralisme seperti faham Komunis, dan berbeda pula dengan demokrasi Liberal. Pondasinya sesuai pembukaan UUD 1945 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”, seperti rapat suku yang dipimpin ketua adat, jadi tidak sekedar dalam bidang politik, melainkan dalam sosial, dan ekonomi. Demokrasi Terpimpin mendapat tentangan banyak kalangan, seperti Deliar Noer mengatakan bahwa demokrasi Terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai ayah dalam keluarga besar bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya.16 Karena menganggap dirinya sebagai ayah dalam konteks bernegara, sehingga Soekarno memiliki kebijakan sendiri sebagai orang yang tidak akan berpihak pada siapapun. Sikap demikian  “Perkembangan Demokrasi Kita”.Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”.  Dengan demikian kekeliruan sangat besar dalam demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai penting dalam demokrasi, yaitu absolutisme dan perpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, diterapkannya dalam berpolitik tanpa partai, dengan tujuan independensi tanpa adanya unsur-unsur mendiktenya. Perinsip ini kemudian membuat Soekarn banyak ditentang oleh banyak lawan-lawan politiknya, entah lupa atau tidak sadar, jelasnya dengan menerapkan politik tanpa partai mengakibatkan dirinya masuk dalam lingkaran pencidera demokrasi. Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kesepakatan dari konstituante ditegaskan oleh Hatta bahwa anjuran untuk bergabung dengan partai politik bagi penghuni konstitusi negara (3 November 1946). Kritikan Hatta mendapat dukungan dari M. Natsir dan Ki Hadjar. Dewantara – pemimpin Taman Siswa – secara pedas menyatakan demokrasi. Terpimpin tidak ada bedanya dengan “liederschap” (kepemimpinan). Hatta pada tahun 1961 menulis dalam bentuk brosur dengan judul, “Demokrasi Kita” isinya menentang ketetapan Presiden Soekarno tentang demokrasi Terpimpin, di dalamnya sangat banyak bertentangan dengan asas-asas kesepakatan berdemokrasi. Di antara hal-hal yang dianggap janggal dalam periode demokrasi terpimpin.

1. Penyimpangan terhadap UUD 1945, di antaranya tentang ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, padahal undang-undang sebelumnya sangat jelas, jika periode Presiden menjabat adalah lima tahun.

2. Tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Presiden telah membubarkan DPR hasil pemilu 1955, padahal dalam UUD 1945 ditentukan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.

3. Presiden boleh ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan legislatif, sesuai peraturan Presiden No. 14/1960. Presiden juga diperbolehkan ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan yudikatif, sesuai UU No. 19/1964. Selain itu terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial.

4. Pers dan lembaga publik banyak dibredel, saluran-saluran aspirasi rakyat diawasi sangat luar biasa ketat, sehingga teks dan naskah pidato harus disortir sebelum dibacakan di depan umum.

3. Demokrasi Pancasila 1965-1998. Orde Baru berhasil memperoleh simpati sangat besar dari masyarakat Indonesia, keberhasilan figur perwira tentara Soeharto menumpas habis ideologi Komunis di Indonesia sampai anak cucunya hingga ke akar-akarnya dianggap prestasi luar biasa,20 termasuk di dalamnya Soeharto mampu menjinakkan usaha kudeta oleh Partai Komunis Indonesia tahun 1965. Berbondong-bondongmasyarakat menumpukan harapan besar atas koreksi total tidak hanya dalam segi politik, tapi juga sosial terlebih kembalinya kondusif hidup beragama, berbangsa. Alasan pembubarannya karena DPR menolak anggran belanja rancangan pemerintah eksekutif saat itu. Semua lapisan masyarakat menyambut era baru demokrasi terkecuali segelintir orang Komunis yang terancam kehidupannya karena agenda politik Soeharto menghabisi ideologi Komunis di Indonesia. Gebrakan mulainya Orde Baru terjadi dalam banyak sektor, paling menjadi sorotan adalah mengembalikan fungsi UUD akibat penyelewengan masa Soekarno, di antaranya ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah dibatalkan, dan jabatan pemimpin negara kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Selain itu kebijakan-kebijakan hasil ketentuan masa Orde Lama kembali mengalami koreksi dengan ditetapkannya MPRS No. XIX/1966 untuk peninjauan kembali produk legislatif demokrasi Terpimpin. Semangat mengembalikan fungsi UUD pada tempatnya dan kembali menempatkan Pancasila sebagai asas tertinggi dan tunggal bagi semua golongan dalam bernegara menjadikan sistem pemerintahan pada periode ini adalah demokrasi Pancasila, sesuai UUD 1945, dan Ketetapan-ketetapan MPRS.

Berikut beberapa rumusan tentang Demokrasi Pancasila:

a. Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian hukum.

b. Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara.

c. Demokrasi dalam bidang hukum pada hakekatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia), peradilan yang bebas dan tidak memihak.


4.2.        Gaya Pemimpin Demokrasi Tokoh Politisi Muda

1. Yuddy Chrisnandi
Yuddy Chrisnandi lahir di Bandung 29 Mei 1968, putra pertama dari
pasangan Yees Chrisman Tisnaamidjaya (almarhum) dan Tintin Yuniartien. Masa kecil hingga remajanya dilalui di kota Cirebon – Jawa Barat, pendidikan dasarnya di SDN Panitran III Cirebon tahun 1980, pendidikan SLTP di SMPN I Cirebon tahun 1983, dan SLTA di SMA 1 Cirebon tahun 1986. Pendidikan jenjang S-1 di kota Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Padjajaran tahun 1991, berlanjut S-2 meraih gelar Magister Ekonomi bidang Manajemen Keuangan dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1997, di Universitas yang sama Yuddy Chrisnandi manamatkan pendidikan Doktor di Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia tahun 2004, dengan disertasi “Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia”. Buah pernikahannya dengan Velly Elvira dikaruniai anak bernama Ayesha Fatma Nandira.41 Yuddy aktif sebagai pengajar tetap dengan pangkat akademik Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Nasional di Jakarta, ia juga aktif mengajar/memberikan ceramah di berbagai kegiatan pelatihan kepemimpinan organisasi kemahasiswaan atau pemuda, menjadi pembicara di berbagai forum seminar atau diskusi, serta kegiatan akademis lainnya, baik dalam maupun luar yang dahulu menodai demokrasi, rakyat juga sedikit demi sedikit dibuat amnesia tentang semangat.
Reformasi untuk tegaknya keadilan bagi pelaku-pelaku KKN masa Soeharto. Tentang kaburnya cita-cita Reformasi bisa dibaca pada Dede Mariana dan Karoline Puskara, Demokrasi dan Politik Hidup Yuddy tidak hanya dihabiskan dalam bidang politik, kesehariannya juga dipenuhi oleh agenda pendidikan sebagai dosen dan guru di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, di antaranya; penasehat Ahli KAPOLRI BidangPolitik dan Kepemudaan 1999-2001. Staf khusus Wakil Presiden RI Bidang Politik dan Keamanan 2001-2002. Anggota DPR RI Komisi I periode 2004-2009. Dosen Kehormatan/ Dewan Penyantun STIE Satya Darma Singaraja Bali. Dosen dan Dewan Pendiri Program S-2 STIE Latifah Al Mubarokah, Suryalaya, Tasikmalaya. Dosen PPS Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia tahun 2005. Dosn FE Jurusan Manajemen, Universitas Trisakti dari 1997-2001.43 Yuddy termasuk aktifis dalam berorganisasi, baik dalam bidang pendidikan, sosial ataupun politik, di antaranya adalah; Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (BAPPILU) DPP Partai HANURA periode 2010-2015. Ketua Departemen Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi DPP Partai GOLKAR periode 2004- 2009. Calon Ketua Umum Partai GOLKAR pada tahun 2009. Pengurus DPP Partai GOLKAR. Departemen Hukum dan Perundangan tahun 2001-2004. Pengurus DPP Partai GOLKAR. Departemen Pemuda periode 1998-2001.
Sangat banyak karya tulis Yuddy dalam politik, di antaranya; Penulis buku KPP HAM Bukan Pengadilan HAM (Yayasan Kebangsaan Bersatu, 1999), buku Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (LP3ES, 2005), buku Kesaksian Para Jenderal ( LP3ES, 2007), buku Military Reform Post Suharto Era Orde Baru (RSIS-Singapore, 2008), buku Beyond Parlemen (Transwacana, 2008), buku Visi Misi Dr. H. Yuddy Chrisnandi, ME. Mengembalikan Kepercayaan Rakyat angkitan Kembali Partai GOLKAR. Untuk Mencapai Kemenangan Partai GOLKAR 2014, buku Strategi Kebangsaan Satrio Piningit 2014 (Indohill, 2010), dan beberapa editor buku seperti buku Membangun Kemandirian Indonesia (Forum Dialog Indonesia, 1995), dan buku Orang Berkata Tentang Wiranto (Yayasan Kebangsaan Bersatu, 2001). Sedangkan penghargaan yang pernah diraih oleh Yuddy dalam politik antara lain; Calon Presiden Alternatif hasil seleksi Dewan Integritas Bangsa, Maret 2009. News Making Politicians of The Years, Biografi Politik, 2009. Tokoh Muda Inspiratif pilihan KOMPAS, Oktober 2009. Juru Bicara Calon Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014 (H. Jusuf Kalla dan H.Wiranto). Peserta Aktif pada Seminar Senior Inter-Agency Advisory Panel & Process (SIAPP) on National and Transnational Threats, Departemen Pertahanan RI, Mei 2006. Juru Kampanye Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Sukses Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), terletak pada sampul belakang. Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional, pada sampul belakang. Tingkat Nasional Partai GOLKAR, 2004. Juru Kampanye Tingkat Nasional Partai GOLKAR, 1999.

D.   TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN
Memahami teori-teori kepemimpinan sangat besar artinya untuk mengkaji sejauh mana kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara efektif serta menunjang kepada produktifitas organisasi secara keseluruhan. Dalam karya tulis ini akan dibahas tentang teori dan gaya kepemimpinan.
Seorang pemimpin harus mengerti tentang teori kepemimpinan agar nantinya mempunyai referensi dalam menjalankan sebuah organisasi. Beberapa teori tentang kepemimpinan antara lain :
5.1.        Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory )
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan ”The Greatma Theory”. Dalam perkembanganya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat – sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain : sifat fisik, mental, dan kepribadian.
5.2. Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecendrungan kearah 2 hal:
o Pertama yang disebut dengan Konsiderasi yaitu kecendrungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti : membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia berkonsultasi dengan bawahan.
o Kedua disebut Struktur Inisiasi yaitu Kecendrungan seorang pemimpin yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat , bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil yang akan dicapai.
Jadi, berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi pula.
5.3.        Teori Kewibawaan Pemimpin
Kewibawaan merupakan faktor penting dalam kehidupan kepemimpinan, sebab dengan faktor itu seorang pemimpin akan dapat mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan maupun kelompok sehingga orang tersebut bersedia untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh pemimpin.
5.4.        Teori Kepemimpinan Situasi
Seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.
5.5.        Teori Kelompok
Agar tujuan kelompok (organisasi) dapat tercapai, harus ada pertukaran yang positif antara pemimpin dengan pengikutnya.
Dari adanya berbagai teori kepemimpinan di atas, dapat diketahui bahwa teori kepemimpinan tertentu akan sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan (Leadership Style), yakni pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan sikapnya. Gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpan bersikap, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain dalam mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu.Gaya tersebut bisa berbeda – beda atas dasar motivasi , kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu. Diantara beberapa gaya kepemimpinan, terdapat pemimpin yang positif dan negatif, dimana perbedaan itu didasarkan pada cara dan upaya mereka memotivasi karyawan. Apabila pendekatan dalam pemberian motivasi ditekankan pada imbalan atau reward (baik ekonomis maupun nonekonomis) berartitelah digunakan gaya kepemimpinan yang positif. Sebaliknya jika pendekatannya menekankan pada hukuman atau punishment, berarti dia menerapkan gaya kepemimpinan negatif. Pendekatan kedua ini dapat menghasilakan prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian manusiawi.
Dilihat dari orientasi si pemimpin, terdapat dua gaya kepemimpinan yang diterapkan, yaitu gaya konsideral dan struktur, atau dikenal juga sebagai orientasi pegawai dan orientasi tugas. Beberapa hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kepuasan kerja pegawai dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang dominan. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur, percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang – orang sibuk dan mendesak mereka untuk berproduksi.
Pemimpin yang positif, partisipatif dan berorientasi konsiderasi,tidak selamanya merupakan pemimpinyan terbaik.fiedler telah mengembakan suatumodel pengecualian dari ketiga gaya kepemimpinan diatas,yakni model kepemimpinankontigennis.model ini nyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bergantung pada situasi dimana pemimpin bekerja.dengan teorinya ini fiedler ingin menunjukkan bahwa keefektifan ditunjukkan oleh interaksi antara orientasi pegawai dengan 3 variabel yang berkaitan dengan pengikut, tugas dan organisasi. Ketiga variabel itu adalah hubungan antara pemimpin dengan anngota ( Leader – member rolations), struktur tugas (task strukture), dan kuasa posisi pemimpin (Leader position power). Variabel pertama ditentukan oleh pengakuan atau penerimaan (akseptabilitas) pemimpin oleh pengikut, variabel kedua mencerminkan kadar diperlukannya cara spesifik untuk melakukan pekerjaan, variabel ketiga menggambarkan kuasa organisasi yang melekat pada posisi pemimpin.
Model kontingensi Fieldler ini serupa dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (muturity) pengikutnya.perilaku pengikut atau bawahan ini amat penting untuk mengetahui kepemimpinan situasional, karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa menerima atau menolak pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok , pengikut dapat menemukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin.
Menurut Hersey dan Blanchard (dalam Ludlow dan Panton,1996 : 18 dst), masing – masing gaya kepemimpinan ini hanya memadai dalm situasi yang tepat meskipun disadari bahwa setiap orang memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya meskipun perlu.
Banyak studi yang sudah dilakukan untuk melihat gaya kepemimpinan seseorang. Salah satunya yang terkenal adalah yang dikemukakan oleh Blanchard, yang mengemukakan 4 gaya dari sebuah kepemimpinan. Gaya kepemimpinan ini dipengaruhi oleh bagaimana cara seorang pemimpin memberikan perintah, dan sisi lain adalah cara mereka membantu bawahannya.
Ditengah–tengah dinamika organisasi (yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf / individu yang berbeda – beda), maka untuk mencapai efektivitas organisasi, penerapan keempat gaya kepemimpinan diatas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Inilah yang dimaksud dengan situasional lesdership,sebagaimana telah disinggung di atas. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni :
1.     Kemampuan analitis (analytical skills) yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
2.     Kemampuan untuk fleksibel (flexibility atau adaptability skills) yaitu kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap situasi.
3.     Kemampuan berkomunikasi (communication skills) yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita terapkan.
Ketiga kemampuan di atas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making) (Gordon, 1996 : 314-315).
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Maka jika ingin menjadi pemimpin yang baik jangan pikirkan orang lain, pikirkanlah diri sendiri dulu. Tidak akan bisa mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri. Bangunan akan bagus, kokoh, megah, karena ada pondasinya. Maka sibuk memikirkan membangun umat, membangun masyarakat, merubah dunia akan menjadi omong kosong jika tidak diawali dengan diri sendiri. Merubah orang lain tanpa merubah diri sendiri adalah mimpi mengendalikan orang lain tanpa mengendalikan diri.












BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Kata pemimpin, serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat–sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
B. SARAN
Sangat diperlukan sekali jiwa kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri.











DAFTAR PUSTAKA


Alfian, M. Alfan. 2003. Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia.
Aynul. 2009. Definisi Pemimpin. Bandung: Sinar Baru.
Manulang, M. 2004. Hakekat dan Teori Kepemimpinan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Panji Anoraga. 2010. Pengertian Kepemimpinan Menurut Para Ahli.             Jakarta: Rineka Cipta.
Hani Handoyono, T. 1993. Gaya Pemimpin Demokrasi Tokoh Politisi Muda. Jakarta: Yayasan Bina Karsa.

Soedarsono dan Edilius. 2004. Dinamika Demokasi Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.